Ada cerita unik di Sendangguwo, Kelurahan Gemah, Kecamatan Tembalang. Cerita sendang yang ada goanya itu, konon, ditunggu oleh mbahurekso yang memiliki gamelan yang sering dipinjam oleh warga sekitar. Alat musik tradisional itu tidak bisa dilihat oleh mata t3l4nj4ng. Bila ada warga yang akan punya gawe dan akan pinjam gamelan hanya memberi syarat dengan uba rampe berupa beberapa sesaji khusus kepada mbahurekso tersebut.
Di lokasi cerita Sendangguwo yang konon ditunggui oleh mbahurekso yang memiliki gamelan ini tumbuh pohon besar. Lokasi ini, sekarang ada yang memanfaatkan untuk kegiatan - kegiatan ritual.
Melalui syarat yang sudah ditentukan, gamelan akan muncul sendiri dan dapat dilihat. Lalu, orang yang memiliki hajat ingin memeriahkan acara menggunakan gamelan bisa membawanya pulang setelah melalui dalang yang dipercaya. Cerita ini hingga kini masih dipercaya kebenarannya oleh warga terutama penduduk asli warga Sendangguwo.
Tetapi, suatu ketika, gamelan itu dipinjam oleh warga kampung tertentu. Setelah mereka yang pinjam puas memakai gamelan tersebut, lalu dikembalikan. Namun dari salah satu perangkat gamelan berupa kempul, tidak ikut dikembalikan, maka sang mbahurekso menyumpahi bahwa keturunan warga kampung yang pinjam gamelan itu akan rembes.
Cerita itu seperti dikatakan Agus Ariyanto warga asli Sendangguwo, Sabtu (22/9) lalu. Tetapi, lanjutnya, warga asli yang disumpahi itu tadi sudah pada pindah, sedangkan yang ada adalah warga pendatang. "Cerita itu berkembang turun - temurun hingga sampai sekarang dan cerita itu melekat pada warga asli Sendangguwo," kata Agus Ariyanto yang sehari - hari buka studio foto di kampungnya dekat jembatan goyang Sendangguwo.
Cerita itu dibenarkan oleh Abdul Rahman, seniman pematung warga asli Sendangguwo. Menurutnya, nama Sendangguwo diambil dari sendang. Di sendang itu dulu ada goa yang ditunggu oleh mbahurekso yang memiliki gamelan. Cerita itu terjadi sekitar tahun 1800-an. Warga asli Sendangguwo tidak asing mendengar cerita itu. "Kalau anda ingin tanya soal cerita itu, warga asli Sendangguwo paham," katanya.
Tetapi, seiring perkembangan zaman, kata Abdul Rahman, sendang itu tertutup tanah dan goanya juga hilang. Para sesepuh tidak ada lagi yang nguri - uri tradisi tersebut. Petilasannya sampai sekarang masih ada, tapi warga tidak ada yang nguri -uri keberadaan sendang dan goa tersebut. Malah, kata Abdul Rahman, ada orang yang sengaja memanfaatkan lokasi di tempat petilasan Sendangguwo itu untuk kegiatan ritual.
Di lokasi cerita Sendangguwo yang konon ditunggui oleh mbahurekso yang memiliki gamelan ini tumbuh pohon besar. Lokasi ini, sekarang ada yang memanfaatkan untuk kegiatan - kegiatan ritual.
Melalui syarat yang sudah ditentukan, gamelan akan muncul sendiri dan dapat dilihat. Lalu, orang yang memiliki hajat ingin memeriahkan acara menggunakan gamelan bisa membawanya pulang setelah melalui dalang yang dipercaya. Cerita ini hingga kini masih dipercaya kebenarannya oleh warga terutama penduduk asli warga Sendangguwo.
Tetapi, suatu ketika, gamelan itu dipinjam oleh warga kampung tertentu. Setelah mereka yang pinjam puas memakai gamelan tersebut, lalu dikembalikan. Namun dari salah satu perangkat gamelan berupa kempul, tidak ikut dikembalikan, maka sang mbahurekso menyumpahi bahwa keturunan warga kampung yang pinjam gamelan itu akan rembes.
Cerita itu seperti dikatakan Agus Ariyanto warga asli Sendangguwo, Sabtu (22/9) lalu. Tetapi, lanjutnya, warga asli yang disumpahi itu tadi sudah pada pindah, sedangkan yang ada adalah warga pendatang. "Cerita itu berkembang turun - temurun hingga sampai sekarang dan cerita itu melekat pada warga asli Sendangguwo," kata Agus Ariyanto yang sehari - hari buka studio foto di kampungnya dekat jembatan goyang Sendangguwo.
Cerita itu dibenarkan oleh Abdul Rahman, seniman pematung warga asli Sendangguwo. Menurutnya, nama Sendangguwo diambil dari sendang. Di sendang itu dulu ada goa yang ditunggu oleh mbahurekso yang memiliki gamelan. Cerita itu terjadi sekitar tahun 1800-an. Warga asli Sendangguwo tidak asing mendengar cerita itu. "Kalau anda ingin tanya soal cerita itu, warga asli Sendangguwo paham," katanya.
Tetapi, seiring perkembangan zaman, kata Abdul Rahman, sendang itu tertutup tanah dan goanya juga hilang. Para sesepuh tidak ada lagi yang nguri - uri tradisi tersebut. Petilasannya sampai sekarang masih ada, tapi warga tidak ada yang nguri -uri keberadaan sendang dan goa tersebut. Malah, kata Abdul Rahman, ada orang yang sengaja memanfaatkan lokasi di tempat petilasan Sendangguwo itu untuk kegiatan ritual.